03 Juli 2011

Kaum Indo-Eropa dan Politik Etis



Kaum Indo-Eropa adalah salah satu golongan masyarakat yang pernah ada dan eksis pada masa kolonial di Nusantara. Setelah tibanya orang-orang Barat di Nusantara, maka secara berangsur-berangsur muncul suatu komunitas masyarakat Eropa yang sudah bercampur dengan darah Asia melalui hubungan pernikahan. Dari sinilah kaum Indo-Eropa berasal. Mereka adalah orang-orang berdarah campuran Eropa-Asia yang tinggal di tanah koloni selama berabad-abad. Dan juga kelompok orang Eropa yang lahir di tanah koloni. Kedudukan kaum Indo-Eropa ini tidak terlalu menonjol pada masa VOC, karena saat itu Belanda belum bisa menemukan pijakan yang kuat untuk membentuk suatu masyarakat koloni yang teratur. Namun ketika pemerintah kolonial berkuasa sejak awal abad ke-19, kaum Indo-Eropa mulai menemukan eksistensinya di tengah-tengah masyarakat kolonial. Jenis dari orang Indo-Eropa ini bermacam-macam, ada yang berasal dari campuran orang Belanda dengan pribumi, bahkan juga ada yang berasal dari campuran orang Portugis (biasa disebut mestizo). Kondisi ekonomi dan kesehatan yang buruk dari kaum Indo-Eropa menyebabkan mereka tersingkir dari masyarakat kolonial secara umum sampai pertengahan abad ke-19.

Perbedaan kebudayaan antara orang Eropa dan pribumi menyebabkan terpisahnya dua jenis masyarakat ini dalam tatanan masyarakat kolonial. Meskipun begitu, kaum Indo-Eropa masuk ke dalam golongan orang-orang Eropa dan memiliki status masyarakat yang lebih tinggi daripada kaum pribumi. Tapi bagi orang-orang Belanda “totok” atau orang Eropa asli sendiri, kedudukan kaum Indo-Eropa dianggap lebih rendah daripada mereka, bahkan adakalanya lebih rendah dan hina dari orang-orang pribumi itu sendiri (dalam hal ini orang Jawa). J.J Rochusen, Gubernur Jendral Hindia Belanda (1845-1851), melukiskan bahwa kedudukan kaum Indo-Eropa ini bisa membahayakan karena jumlahnya yang semakin besar. Diterapkannya cultuurstelsel sejak tahun 1830 memunculkan kesempatan bagi orang Indo-Eropa ini untuk menempati posisi-posisi strategis di bidang ekonomi dan politik sebagai pegawai-pegawai rendahan kolonial. Selain itu, kedudukan dan status sosial kaum Indo-Eropa yang semula dihinakan oleh orang Eropa asli secara perlahan-lahan mulai naik dan sedikit dipandang oleh pemerintah. Selain itu, orang Indo-Eropa dianggap cocok untuk melakukan kerja tangan yang dianggap hina bagi kebanyakan orang-orang Eropa asli di pemerintahan.


Politik etis dan tantangan terhadap kaum Indo-Eropa
Kebutuhan akan tenaga kerja yang berpendidikan barat di pabrik-pabrik Eropa pada paruh kedua abad 19 merupakan kesempatan besar bagi orang Indo-Eropa untuk memperbaiki tingkat ekonomi mereka yang sebelumnya selalu memburuk dan menjadi penyakit bagi masyarakat kolonial. Lantas saja, semakin banyak orang Indo-Eropa yang lulus dari sekolah-sekolah rendah Barat dan kemudian mendapat pekerjaan sebagai pegawai rendah kolonial. Pada tahun 1864, ditetapkan bahwa pendidikan bagi dinas pelayanan pemerintah kolonial bisa diadakan di tanah koloni. Hal ini akhirnya menyebabkan meningkatkannya jumlah lulusan-lulusan Indo-Eropa yang siap dipekerjakan dalam pemerintahan kolonial. Meningkatnya kedudukan ekonomis kaum Indo-Eropa ini akhirnya menggeser kedudukan kaum pribumi. Kaum pribumi sendiri sudah mengalami suatu kejatuhan sosial dan ekonomi yang luar biasa akibat praktek-praktek cultuurstelsel.

Seperti yang kita ketahui, akibat praktek cultuurstelsel yang sudah tidak sesuai dengan konsepnya lagi, akhirnya membuka mata kelompok-kelompok etis untuk melakukan suatu perubahan. Pidato Ratu Wilhemmina pada 1901 merupakan titik awal dari munculnya suatu perubahan bagi kesejahteraan kaum pribumi di tanah jajahan. Inti dari kebijakan politik etis adalah untuk meningkatkan taraf kesejahteraan kaum pribumi dalam tiga aspek, yakni migrasi, irigasi dan edukasi. Kebijakan ini diterima dengan baik oleh kaum pribumi karena mereka akhirnya dapat mempelajari sesuatu dari bangsa Belanda untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, dan dilihat dari sudut pandang manapun tampaknya kebijakan ini memang berpihak pada mereka. Namun di lain pihak, diterapkannya kebijakan ini merupakan awal bencana sosial bagi orang-orang Indo-Eropa.

Sebelum politik etis dilaksanakan, posisi-posisi strategis sebagai pegawai rendahan dimonopoli oleh orang-orang kulit berwarna ini. Bisa dimaklumi karena memang tidak ada lagi yang bisa diharapkan oleh pemerintah untuk mengisi jabatan ini. Orang Cina enggan untuk berbaur lebih jauh ke dalam ranah politik, orang Arab dan Timur Asing sibuk mengurus diri mereka sendiri, sementara orang-orang Jawa masih terbelenggu dalam cultuurstelsel. Tentu saja orang-orang Indo-Eropa yang sudah diberi kesempatan untuk mendapat pendidikan Barat menjadi pilihan utama. Namun ketika politik etis dilaksanakan dan jumlah orang pribumi yang masuk ke sekolah-sekolah Barat menjadi semakin banyak, kecemasan timbul di kalangan Indo-Eropa mengingat potensi tergesernya mereka dari jabatan-jabatan yang selama ini mereka tempati semakin besar.

Dibandingkan poin edukasi, rasanya kebijakan politik etis lainnya seperti irigasi dan migrasi tidaklah terlalu mengusik kepentingan mereka. Karena pada dasarnya, kedua hal itu lebih menguntungkan Pemerintah Kolonial dibandingkan kaum pribumi itu sendiri. Hanya di bidang pendidikanlah kaum Indo-Eropa mendapat tantangan dari kaum pribumi yang baru bangkit itu. Periode tahun 1910 dan 1914, orang pribumi (dan Cina) berhasil lulus dari sekolah-sekolah Barat dengan hasil memuaskan, walaupun jumlah mereka hanya sekitar 800 orang dibandingkan dengan 1400 orang Indo-Eropa yang lulus pada tahun yang sama. Keadaan mulai berbalik pada tahun 1930-an; 5800 orang pribumi dengan 2600 orang Indo-Eropa. Bagi orang-orang pribumi, alasan ekonomis menjadi dasar mereka untuk mengikuti pendidikan Barat. Dengan mengikuti pendidikan, maka mereka akan memenuhi syarat untuk melamar di instansi-intansi pemerintahan dan juga di pabrik-pabrik Eropa, yang selama berpuluh-puluh tahun sebelumnya dipegang oleh orang-orang Indo-Eropa.

Rupanya kekhawatiran kaum Indo-Eropa ini cukup beralasan. Para direktur-direktur pabrik dan pejabat-pejabat tinggi instansi lebih memilih mempekerjakan orang-orang pribumi, yang meskipun telah mendapat pendidikan yang setara dengan orang Indo-Eropa, namun mereka bersedia digaji lebih murah. Akibatnya, terjadi suatu pergeseran kelas pekerja pada masa politik etis, dimana kaum pribumi mulai menempati (sekaligus menyingkirkan) orang-orang Indo-Eropa dari jabatan-jabatan yang selama ini dipegang oleh mereka. Pekerjaan itu bisa berupa pengawas perkebunan, juru tulis keresidenan, pekerja-pekerja pabrik, guru-guru sekolah, dan lain-lain. Untuk menandingi kaum pribumi itu, maka mau tak mau kaum Indo-Eropa harus menurunkan taraf ekonominya, dengan kata lain penurunan gaji, yang bagi orang Indo-Eropa merupakan sebuah hal yang sangat mereka takuti karena status ekonomi mereka secara tidak langsung disamakan dengan kaum pribumi. Isu gaji ini pernah menjadi isu yang cukup pelik diantara anggota Indo-Europees Verbond (Perkumpulan Kaum Indo Eropa).


Kesadaran politis dan upaya pembentukan masyarakat majemuk
Satu lagi akibat politik etis yang mempengaruhi kehidupan kaum Indo-Eropa ini adalah munculnya kesadaran “berbangsa dan bertanah air” diantara mereka. Bagi orang Indo-Eropa sendiri, tanah yang mereka tempati ini mereka anggap sebagai tanah kelahirannya, kampung halamannya. Karena meskipun berdarah Eropa, mereka tidak merasa memiliki ikatan apapun dengan negeri induk, yang malah sejauh ini justru tak mengacuhkan mereka. Dewan Rakyat (Volksraad) menjadi wadah pertama mereka untuk mencurahkan pemikiran politis mereka tentang pembentukan masyarakat majemuk di tanah koloni.

Pembentukan masyarakat majemuk merupakan sebuah tujuan akhir dari upaya kolonialisasi di Jawa, setidaknya itulah yang diinginkan oleh orang-orang Indo-Eropa. mereka menginginkan suatu Tanah Hindia yang bisa hidup mandiri terlepas dari tanah induk dan diperintah oleh masyarakat yang beraneka ragam , mulai dari bangsa Eropa, pribumi, dan juga orang-orang Cina. Usaha pertama yang mereka lakukan adalah mendirikan satu wadah politik yang bisa menjadi alat untuk mewujudkan cita-cita mereka, terwujud dalam bentuk sebuah partai bernuasa politis yang bernama Indische Partij. Partai ini didirikan oleh E.F.E Douwes Dekker, yang menampung perasaan tidak puas terhadap tanah induk dalam memperlakukan rakyat koloninya. Untuk mencapai tujuannya ini, dia menggandeng kaum pribumi yang merasakan nasib serupa. Inti dari tujuan Indische Partij adalah memerdekakan tanah koloni dan membuat pemerintahan yang dipimpin oleh orang Indo-Eropa, atau setidak-tidaknya bersama dengan kaum pribumi. Tapi pemerintah kolonial bertindak dengan cepat, dan akhirnya nasib partai yang cukup revolusioner ini hanya bertahan selama setahun saja karena pemimpin-pemimpinnya terlanjur diringkus (1912-1913).


Kesimpulan
Politik etis yang dilaksanakan di Hindia Belanda sejak tahun 1901 merupakan satu masa yang menentukan dalam sejarah Indonesia. Tidak hanya bagi kaum pribumi yang akhirnya mendapatkan pendidikan dan akhirnya bisa melawan pemerintah kolonial, namun juga bagi orang-orang Indo-Eropa yang akhirnya bisa menemukan status mereka dalam masyarakat kolonial di Tanah Hindia yang majemuk. Meskipun secara perlahan-lahan tersingkir, namun peranan orang-orang Indo-Eropa masih tetap penting pada paruh pertama abad 20 sebagai suatu kelas masyarakat yang berperan sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah kolonial. Bagi kaum pribumi sendiri, obsesi Douwes Dekker untuk memerdekakan tanah jajahan menjadi inspirasi tersendiri bagi upaya pergerakan nasional. Namun memang pada dasarnya, ada batas-batas yang sulit disatukan antara kaum pribumi dengan orang-orang Eropa. Perbedaan semacam itulah yang akhirnya membuat orang-orang Indo-Eropa akhirnya tersingkir dari Indonesia ketika negara tersebut dimerdekakan. Banyak kelompok Indo-Eropa yang akhirnya tersingkir (atau terusir) dan terpaksa pergi ke negeri induk, dimana disana mereka juga tidak diperlakukan dengan begitu baik. Sedangkan bagi yang menetap di Indonesia, mereka harus menghadapi suatu tatanan masyarakat baru yang gayanya sangat jauh berbeda dibandingkan dengan gaya kolonial yang dulu dipraktekkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.


Referensi :
Kartodirdjo, Sartono. 1977. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (terj.). Jakarta: Serambi.
van der Veur, P.W. 1987. “Orang Indo-Eropa : Masalah dan Tantangan,” Politik Etis dan
       Revolusi Kemerdekaan (terj.)
, eds. H. Baudet dan I.J. Bruggman. Jakarta : Yayasan Obor.






Rahadian Rundjan,
Ilmu Sejarah FIB UI 2009
@RahadianRundjan


 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates