28 Februari 2012

Selintas Sejarah Islam di Negeri Rempah-rempah





Sebelum masuknya agama Islam dan kristen di Maluku, penduduk asli di Maluku telah memiliki satu kepercayaan yang disebut kepercayaan asli. Sistem kepercayaan ini terdiri dari kepercayaan animisme dan dinamisme. Animisme adalah sistem kepercayaan yang menganggap bahwa seluruh alam ini dihuni oleh roh atau jiwa, ada roh yang baik ada pula roh yang jahat. Di Maluku, kepercayaan kepada roh ini dihubungkan dengan roh nenek moyang. Upacara-upacara adat yang sampai sekarang ini masih dilaksanakan menunjukan adanya sistem kepercayaan itu. Di samping itu terdapat kepercayaan dinamisme yaitu kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan gaib yang dimiliki oleh benda-benda tertentu, misalnya batu besar, pohon besar atau benda-benda pusaka. Selain itu ada pula kepercayaan kepada tempat-tempat tertentu yang suci dan keramat. Sistem kepercayaan asli ini sampai sekarang masih ditemukan di berbagai pelosok kepulauan Maluku. Berikut contoh-contoh pelaksanaan kepercayaan animisme-dinamisme di berbagai daerah di Maluku.

Maluku Utara : penyembahan terhadap roh nenek moyang di Ternate disebut Gomangga. Peraturan-peraturan dari nenek moyang sampai sekarang masih dipegang dan takut dilanggar karena dapat mendatangkan malapetaka. Di sana pula terdapat satu kepercayaan kepada roh tertinggi yang tidak kelihatan yang menciptakan bumi dan segala isinya. Di Tidore roh tertinggi disebut Jou Wange yang menurunkan kekuatannya kepada seseorang yang disebut Momale, yaitu orang-orang yang menjalankan upacara adat. 

Maluku Tengah : Masih ada pemujaan terhadap tempat-tempat yang dianggap suci disamping itu ada pula tempat-tempat yang menakutkan. Di Pulau Ambon sampai dewasa ini masih ada sisa kepercayaan tersebut. Misalnya ; pemujaan terhadap Batu Marawel di desa Hatalae, tampayang Setan di gunung Sirimau, dan lain-lain. 

Maluku Tenggara: Di kepulauan Kei kepercayaan animisme disebut dengan istilah Ngu-Mat, sedangkan dinamisme disebut Wadar Metu. Kedua kekuatan ini menguasai kehidupan masyarakat, terbukti dari adanya bermacam-macam upacara adat dalam bentuk kepada pemujaan kepada Nit-Jamad-Ubud (tete-nene moyang), Ler Wuan (Matahari dan Bulan), Aiwarat (pohon-pohon), aiwat (batu-batu), Rahanyam (mata rumah), Tun Lair (tanjung dan labuan), Nuhu-Tanat (gunung-tanah = bukit dan daratan), Wama-kasal (pusat negeri-desa), dan Kabur-hat (kuburan). 


Masuknya Islam 
Beberapa pendapat mengenai masuknya Islam ke Maluku diantaranya diungkapkan oleh Mailoa (1977), bahwa Islam yang berkembang di Maluku Utara diduga berasal dari Malaka, Kalimantan atau Jawa. Prodjokusumo(1991), mengemukakan bahwa Ganjar dan Giri atau Gresik cukup besar pengaruhnya dalam mensosialisasikan Islam di Maluku Utara, sebelum terjadi arus balik, yakni penyebaran Islam dari Maluku ke arah barat yakni Buton dan daerah lain di Sulawasi Selatan. 

Di wilayah Maluku Utara, atau mungkin daerah lainnya di Nusantara, agenda Islamisasi tampaknya tak bisa dilepaskan dari proses ekspansi atau perluasan kekuasaan dari kerajaan-kerajaan pemegang kendali pusat pemerintahan Islam. Dimana Islam disebarkan, disitu pula perluasaan kekuasaan ditanamkan. Di wilayah Maluku Utara, ekskalasi politik seperti ini lebih tajam dibandingkan daerah lain mengingat wilayah Maluku banyak berdiam kerajaan-kerajaan Islam yang besar, geografis yang relatif berdekatan dengan sumber daya yang melimpah ruah. 

Merangkum berbagai pendapat, Marasabessy, (2001) mengemukakan bahwa Islam masuk ke Maluku Utara melalui beberapa tahap. Periode awal, periode ini dimulai pada abad ke- 7 Masehi yaitu masa para pedagang-pedagang Arab membeli rempah-rempah. Periode pertengahan, periode ini dimulai pada abad ke-11 yang ditandai dengan munculnya nama-nama Arab, yang diduga kuat karena pengaruh ajaran agama Islam, seperti Sultan Mansyur Malamo (1257-1277) yang nama aslinya adalah Cico Bunga yang menjadi Raja Ternate. Periode penerimaan Islam oleh Kesultanan, periode ini menunjukan penggantian nama dari kerajaan menjadi kesultanan. Periode ini dimulai pada tahun 1495, Sultan Zainal Abidin (sultan ke-19) memperdalam ilmu agama ke tanah Jawa. 

Di antara kerajaan-kerajaan bercorak Islam di Kepulauan Maluku yang menonjol adalah kerajaan Ternate dan Tidore. Pada abad ke-14 M masa kerajaan Majapahit, hubungan pelayaran dan perdagangan antara pelabuhan-pelabuhan terutama Tuban dan Gresik dengan daerah Hitu, Ternate, Tidore, bahkan Ambon sendiri sudah sering terjadi. Pada abad tersebut pelabuhan-pelabuhan yang masih di bawah Majapahit juga sudah didatangi para pedagang Muslim. Untuk memperoleh komoditas berupa rempah-rempah terutama cengkeh dan pala. Hikayat Ternate menyebutkan bahwa turunan raja-raja Maluku: Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan adalah Jafar Sadiq dari Arab. Dalam tradisi setempat dikatakan bahwa Raja Ternate bernama Molomatea (1350-1357) bersahabat dengan dengan orang-orang muslim Arab yang datang di Maluku memberikan petunjuk pembuatan kapal. Demikian pula diceritakan bahwa pada masa pemerintahan Raja Marhum di Ternate, datang seorang alim dari Jawa bernama Maulana Husein yang mengajarkan mambaca Alquran dan menulis huruf Arab yang indah sehingga menarik raja dan keluarganya serta masyarakatnya. Meskipun begitu, Islam baru berkembang pada masa Raja Cico atau putranya Gopi Baguna dan bersama Zainulabidin pergi ke Jawa belajar masuk agama dengan benar, Iman Islam, Tauhid Marifat Islam. Zainulabidin (1486-1500) yang mendapat ajaran Islam dari Giri mengkin dari prabu Atmaka di Jawa terkenal sebagai Raja Buwala yang artinya merupakan raja cengkeh. 


Perkembangan dan Pengaruh dari Masuknya Islam 
Proses masuk dan berkembangnya agama Islam ke Maluku dalam kurun waktu yang cukup lama, telah ikut memberikan warna yang khas bagi kehidupan sosial budaya masyarakat Maluku. Berlangsungnya proses “Islamisasi” itu menurut MS. Putuhena melalui 2 jalur yaitu jalur atas dan jalur bawah memberi pengaruh tertentu dalam strata sosial baik terhadap kebudayaannya maupun praktek keagamaan Islam itu sendiri. Perkembangan Islam di jalur atas menurt MS.Putuhena bercorak Islam formalitas yang artinya walupun orang mengaku beragama Islam namun dalah hal praktek keagamaan masih mengikuti tradisi dan aturan dan nilai-nilai lama. Sementara corak kehidupan masyarakat di jalur bawah nilai dan aturan lama bercampur aduk dengan Islam baik dalam hal pemahaman dan pelaksanaannya. 

Dalam proses sejarahnya, agama Islam di maluku mengalami penarikan diri dari percaturan politik, ekonomi dan sosial budaya sejak zaman VOC sampai berakhirnya pemerintahan Hindia Belanda di Tanah Air. Hal ini tidak bisa diartikan bahwa agama Islam mengalami kemunduran melainkan pada saat itu kekuatan agama Islam tidak mau bekerjasama dengan penjajah. Ada beberapa faktor yang menyebabkannya. Secara politis agama Islam bertentangan dengan agama Kristen yang dibawa oleh Belanda. Dalam hal pendidikan, Umat Muslim dianaktirikan. Bukan karena mereka tidak mau dididik. Namun karena adanya pengutamaan dalam hal mendapatkan pendidikan untuk mereka yang beragama Kristen. Orang Islam Maluku tidak mau masuk ke dunia kemiliteran juga karena adanya pengutamaan perekrutan untuk yang beragam Kristen. Dan pasukan militer ini digunakan untuk berperang melawan daerah-daerah yang banyak umat Islamnya seperti perang Makasar, perang Banten, perang Dipeonegoro dan perang Aceh 

Faktor-faktor inilah yang kemudian membuat Maluku diindetikan dengan agama Kristen dikarenakan banyaknya dari mereka yang memasuki dunia kemiliteran, pendidikan dan pemerintahan adalah mereka yang beragama Kristen.


Kesimpulan
Penyebaran budaya Islam di wilayah Maluku tak dapat dipungkiri bahwa hal ini bersamaan dengan proses ekspansi kekuasaan, artinya semangat Islamisasi berbarengan pula dengan semangat pelebaran sayap kekuasaan. Dalam hal ini Ternate dan Tidore memegang peranan utama. Agenda pengislaman suatu wilayah bisa menjadi nomor 2 dalam setiap ekspansi yang dilakukan pihak kerajaan. Ini terbukti dengan adanya perbedaan karakteristik budaya Islam antara daerah yang satu dengan yang lainnya. Hal inilah yang mungkin menyebabkan penerimaan Islam ke masyarakat tidak benar-benar utuh hingga akhirnya terdapat perbedaan seperti yang sudah dijabarkan dalam pembahasan di atas bagaimana kondisi keislaman masyarakat di daerah Rohomoni. Dan juga, masuknya Islam ini tidak mutlak merubah sistem kepercayaan mayoritas masyarakat Maluku. Sebagian kecil masyarakatnya, masih mempertahankan nilai sistem kepercayaan nenek moyang mereka. Hal ini dapat dilihat dengan adanya bukti-bukti sisa kepercayaan yang masih tetap dipertahankan di desa-desa Maluku walaupun mereka telah menyatakan diri sebagai penganut agama Islam. Bahkan, terdapat campuran antara aturan dan nilai agama tersebut dengan nilai kepercayaan asli yang dikenal dengan sinkritisme. 


Referensi
Handoko, Wuri. Dinamika Budaya Islam di Wilayah Kepulauan Maluku Bagian Selatan. Ambon : Makalah tidak Diterbitkan. 
Leirissa, R.Z, d.k.k. Sejarah Kebudayaan Maluku. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1999. 
Notosusanto, Nugroho, d.k.k. Sejarah Nasional Indonesia Vol.3. Jakarta : Balai Pustaka, 2008. 


Muhammad Robbani,
Mahasiswa Ilmu Sejarah UI 2010
@RobbaniMtop




 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates